Wednesday, October 31, 2007

Anak Pintar Di Kelas Jadi Anak Buah Anak Pintar Di “Jalanan”.

Di suatu sore yang cerah, di dalam bus yang penuh sesak tiba-tiba kudengar percakapan di bawah ini. Ya bukan maksudku nguping, abis yang cerita keras banget sih, jadi otomatis kedengeran. Hehehehe

A: ”Bos C emang susah diajak bicara dan juga merenggut sebagian hak-hak karyawan. Beda dengan Bos A yang meminta setiap karyawan untuk selalu menyampaikan keluhannya jika ada sesuatu yang mengganjal hati sehingga akhirnya dapat mengurangi produktivas kerja.”
B: “Emang benar, masa kita Cuma digaji 15000 setelah kerja dari pukul 9 pagi sampai 5 sore tanpa tambahan uang transport dan makan”
A: “Kita perlu mengadakan usulan ke Bos C, ini nggak bisa dibiarin. Hak-hak karyawan telah terenggut dan kita udah nggak bisa diem aja.”
B: ”Tapi apa kita mampu, bukannya kita tidak punya pekerjaan lain selain ini. Bagaimana dengan kehidupan kita nantinya , kita tidak punya pilihan lain selain ini. Tadi pagi aku sudah kena semprot Bos C hanya soal merapikan barang di gudang tadi, dan saat dia marah-marah aku sempat menjawab kata-katanya. Akhirnya aku malah kena marah dan diancam untuk dikeluarkan. Aku nggak mau ambil resiko lagi.”
B: ”Harapan kita hanya pada Bos A. Semoga dia bisa selalu melindungi hak-hak kita.Tapi secara kekuasaan Bos A kalah dengan Bos C, jadi hal itu membuat Bos A juga tidak bisa ikut campur terlalu banyak pada urusan pabrik.”
A: ”Kalau begitu kenapa kita nggak protes aja sendiri pada Bos C”
B: ”Aku ini sudah tua dan nggak mau lagi ngambil resiko. Kalau aku dikeluarin pabrik mana yang mau nerima orang tua kayak aku.”


Percakapan diatas kudengar dengan jelas saat naik bus sepulang kuliah. Suatu fenomena yang sering dijumpai dalam dunia kerja para pekerja pabrik. Dengan gaji yang minim (memenuhi kriteria UMR) mereka bekerja dengan keras untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, selama 300 hari setahun. Mereka bekerja 300 hari pertahun dengan harapan bisa mendapatkan THR 300.000 saat hari raya. Sistem THR yang didasarkan pada jumlah hari kerja karyawannya.

Indonesia sangat kaya dengan tenaga kerja dengan upah rendah. Hampir sebagian rakyat bekerja dalam kuadran E dan S. Banyak dari mereka bekerja dengan sangat keras setiap harinya dan makin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mencekik leher. Mungkin memang karena pengetahuan finansial mereka yang masih sangat kurang. Sesuai pendapat Robert T.Kiyosaki banyak dari mereka yang tidak mengetahui perbedaan aset dan liabilitas. Sehingga setiap harinya jam 8.00 sekumpulan perempuan – perempuan berusia muda memenuhi angkot yang kutumpangi, sambil berceloteh tentang keseharian, mereka siap untuk bekerja full day hari itu. Dan saat jam 5.00 mereka kembali memenuhi bis pedesaan yang aku tumpangi juga dengan keletihan yang jelas tergambar di wajah-wajah muda mereka.

Pemandangan yang jelas itu membuat aku semakin berpikir keras bagaimana agar aku tidak memiliki nasib seperti mereka. Bangku kuliah yang telah aku jalani selama ini mungkin telah memberikan suatu nilai plus, tetapi tanpa bekal melek finansial, manajemen komunikasi dan manajemen sistem yang baik, tentunya akan sama saja dengan kebohongan besar. Banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak bisa mendapatkan kenyamanan finansial seperti yang diharapkan oleh setiap orang yang menaiki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Ada satu ungkapan yang saya sukai dari Rich Dad’s Poor Dad yaitu ”Pendidikan di sekolah memang penting, tetapi jalanan adalah guru yang terbaik.” Memang benar adanya bahwa pendidikan nyata dari setiap insan dimulai saat ia keluar dari sistem sekolah. Saat itu akan terbukti bahwa manusia dengan bekal melek finansial akan lebih bisa menjalani hidup dengan baik dan mendapatkan posisi kenyamanan finansial dengan lebih cepat, nggak ada hubungannya dengan bekal nilai akademik yang selangit. Membuatku semakin pengin untuk terjun ke ”jalanan” setelah membaca seri buku Rich Dad’s Poor Dad. Mengapa anak dengan potensi akademis tinggi bisa dikalahkan oleh anak yang biasa-biasa saja di bangku sekolah tapi punya IQ finansial yang tinggi.

Hal ini menjawab semua pertanyaan besar yang menggantung di pikiranku selama ini. Anak- anak dengan potensi akademik yang tinggi memiliki kecerdasan dalam Fact Finder sementara anak-anak yang dicap memiliki kegagalan di kelas memiliki potensi yang sangat besar dalam Quick Start. Anak-anak dengan potensi akademik tinggi melihat masa lalu, fakta, dan data-data untuk memecahkan suatu masalah. Sementara itu anak dengan kemampuan Quick Start melihat dengan imajinasi, menciptakan trend baru dan berpandangan visi ke depan dalam memecahkan suatu masalah. Mereka memiliki kekuatan yang penuh untuk memulai sesuatu tetapi memiliki kelemahan dalam hal menyelesaikan pekerjaan. Sementara Fact Finder bermasalah dalam memulai tetapi memiliki kelebihan dalam menyelesaikan, hal inilah yang bikin anak pintar di kelas bisa jadi anak buah dari anak tidak pintar di kelas. Banyak hal memang sangat bertolak belakang. Secara teknis banyak yang menunjukkan bahwa aku adalah seorang Fact Finder, dan itulah yang membuat aku dapat mengikuti sistem sekolah dengan cukup baik, tapi di lapangan aku bukan seorang star. Membuat saya berpikir keras bagaimana saya bisa berpindah kuadran tanpa harus mengingkari karunia Fact Finder yang telah diberikan oleh Tuhan kepada saya, karena saya yakin dengan potensi Fact Finder tersebut Tuhan telah menggariskan garis kehidupan saya. Saya nggak mau lagi merasa kurang hanya karena saya memiliki Fact Finder yang lebih daripada potensi lain.

No comments: